Tantangan dan Strategi komoditi Kopi dalam Menghadapi Perubahan Iklim

Kopi adalah salah satu komoditas perkebunan andalan di Indonesia yang berperan mendukung perekonomian negara dengan menghasilkan devisa negara, memberikan sumber pendapatan petani, dan menciptakan lapangan kerja. Semua provinsi di Indonesia memiliki lahan perkebunan kopi dengan mayoritas perkebunan tersebut dimiliki dan dikelola oleh rakyat. Luas perkebunan kopi di Indonesia mencapai lebih dari satu juta hektar dengan wilayah perkebunan kopi terluas terletak di di Provinsi Sumatera Selatan (Gambar 1) (BPS, 2020). Hal ini yang menjadikan Indonesia sebagai produsen kopi tertinggi keempat di dunia setelah Brazil, Kolombia, dan Vietnam (ICO, 2020). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, baik luas lahan perkebunan maupun produksi kopi di Indonesia menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun (Gambar 2). International Coffee Organization (2020) juga memperkirakan dalam beberapa tahun ke depan peningkatan produksi kopi di Indonesia meningkat sebesar 3-5,8%. Disisi lain, perkebunan kopi sendiri memiliki tantangan yang cukup serius dalam menghadapi perubahan iklim yang terjadi belakangan ini. Banyak penelitian yang telah menunjukkan indikasi perubahan iklim seperti perubahan intensitas hujan dan pola curah hujan, kenaikan suhu udara, pergeseran awal musim, serta kejadian dan intensitas iklim ekstrim yang semakin meningkat berpotensi memberikan dampak dan tantangan dalam menanam dan membudidayakan komoditas kopi (Pham Y et al 2019, Bunn et al 2015).

Gambar 1 Sebaran Luas Perkebunan Kopi di Indonesia (Sumber: BPS 2020)
Gambar 2 Luas dan Produksi Kopi di Indonesia Tahun 2011 hingga Tahun 2020 (Sumber: BPS 2020)

Tantangan pemerintah di komoditi Kopi dalam Perubahan Iklim

Tanaman kopi memiliki umur hidup yang panjang (dapat mencapai 50 tahun) dengan siklus yang berulang setiap tahunnya dipengaruhi oleh iklim kondisi setempat, sehingga penanaman kopi saat ini berpotensi untuk terkena dampak perubahan iklim. Selama satu dekade terakhir, peningkatan suhu permukaan global lebih tinggi 1,090C dibandingkan dengan pasca revolusi industri (1850-1900) (IPCC, 2021). Peningkatan suhu tersebut sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman kopi. Umumnya, masing-masing jenis kopi memiliki rentang suhu optimal berkisar 18-230C tergantung fase pertumbuhan yang sedang terjadi. Namun, penelitian menunjukan bahwa setiap kenaikan suhu 10C dapat menyebabkan penurunan produksi kopi mencapai 30,04%. Di sisi lain suhu udara yang sangat rendah (-30C hingga -5 0C) juga dapat mematikan daun kopi (Supriadi, 2014).

Tidak hanya kuantitas produksi kopi yang menurun, kualitas kopi juga dapat menurun akibat bulan kering berkepanjangan di atas 3 bulan (Willson, 1985). Peningkatan intensitas variabilitas iklim (seperti El Nino dan La Nina) akibat perubahan iklim dapat menyebabkan bulan kering berkepanjangan terjadi lebih sering dan intensitas curah hujan tidak tersebar merata di sepanjang tahun. Intensitas curah hujan yang dibutuhkan oleh tanaman kopi sebenarnya berbeda-beda tergantung dari kondisi tanah, kelembaban atmosfer, dan teknik budidaya kopi. Umumnya, curah hujan tahunan optimum untuk tanaman kopi adalah berkisar 1200 – 1800 mm dengan deret hari terjadi hujan tersebar merata (Willson, 1985).  Sayangnya, perubahan iklim cenderung membuat pola curah hujan bergeser. Penurunan total curah hujan bulanan atau musiman tidak selalu menggambarkan terjadinya penurunan intensitas curah hujan harian. Hal ini dapat disebabkan karena jumlah hari hujan yang menurun dan kumulatif hujan dalam satu bulan atau satu musim hanya berasal dari kejadian hujan dengan intensitas yang tinggi. Intensitas hujan yang terlalu tinggi tentu akan meningkatkan risiko banjir dan gagal panen.

Selain menyangkut kualitas dan kuantitas produksi kopi, perubahan iklim juga menyebabkan semakin minimnya wilayah iklim yang cocok di Indonesia untuk melakukan budidaya kopi. Suhu udara yang cocok untuk budidaya kopi umumnya berada di altitude yang lebih tinggi dengan suhu yang lebih rendah. Petani yang menyadari adanya ketidakcocokan iklim di wilayah budidaya mereka, maka akan memilih bercocok tanam ke wilayah dengan altitude yang lebih tinggi dengan suhu yang lebih rendah. Disisi lain, wilayah yang altitude lebih tinggi tersebut seringkali merupakan Kawasan Hutan Lindung. Akibatnya, Kawasan hutan lindung akan beralih fungsi secara ilegal menjadi lahan perkebunan yang diputuskan sepihak oleh petani kopi. Oleh sebab itu, dalam menghadapi perubahan iklim diperlukan inovasi konkrit untuk mempertahankan budidaya kopi serta kuantitas dan kualitas produksinya.

Strategi yang dapat dilakukan

Secara umum, Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian telah mengusungkan 3 (tiga) pendekatan untuk menghadapi permasalahan perubahan iklim dalam budidaya kopi yaitu, pendekatan strategis (identifikasi wilayah), taktis (pengembangan metode dan teknik prediksi atau pemodelan musim) dan operasional (teknologi penanggulangan apabila prediksi meleset). Skema ketiga pendekatan ini dirincikan sebagai berikut:

  1. Pendekatan strategis dapat berupa inventarisasi data dan informasi terkait wilayah-wilayah yang membudidayakan kopi. Strategi ini meliputi penyusunan peta sebaran wilayah perkebunan kopi, identifikasi sistem budidaya perkebunan kopi di setiap wilayah yang ada, penyusunan peta lokasi kerawanan terhadap bencana banjir ataupun kekeringan, serta melanjutkan kegiatan penelitian dan program aksi untuk mengatasi masalah perubahan iklim.
  2. Pendekatan taktis yang dapat dilakukan adalah memperkuat perkiraan atau prediksi serta analisis iklim dalam satu musim ke musim berikutnya dengan menggunakan data historis yang tersedia (menganalisis melalui grafik hujan bulanan/dekade/mingguan versus real time). Bila diperlukan, dapat juga menambahkan alat ukur cuaca khusus di lokasi-lokasi budidaya kopi prioritas. Pendekatan ini dapat menghasilkan kalender budidaya tanaman kopi yang siap dalam menghadapi perubahan iklim. Pada tanaman pangan semusim (seperti padi) prakiraan iklim telah banyak dimanfaatkan untuk menyusun kalender tanam. Oleh karena itu, kalender budidaya tanaman kopi selama satu tahun juga dapat disusun untuk membantu petani dalam melaksanakan perawatan (pemupukan, penyiraman, dan sebagainya) sesuai dengan fase-fase pertumbuhan tanaman kopi dan spesifik di wilayah tertentu.
  3. Pendekatan operasional dilakukan dengan membangun inventarisasi teknologi khususnya dalam mengendalikan intensitas curah hujan. Peta sebaran bangunan sumberdaya air (embung, sumur bor, waduk) dapat digunakan untuk merencanakan sarana irigasi atau saluran air yang dapat mengatur ketersediaan air. Sehingga, ketika intensitas curah hujan tinggi, air dapat dialirkan menuju tempat penyimpanan, dan ketika kering berkepanjangan air dapat dialirkan melalui lokasi-lokasi penyimpanan atau sumber air. Alternatif lain yang dapat diadopsi adalah penerapan asuransi indeks iklim yang memerlukan perencanaan lebih lanjut dengan prediksi iklim yang kuat.

Ketiga pendekatan ini tetap memerlukan tenaga terlatih yang dapat menggunakan sistem informasi sehingga dapat mendampingi petani dalam melakukan budidaya kopi. Selain intervensi langsung dari tenaga ahli saat budidaya kopi, aksi nyata ketahanan iklim dapat juga dilakukan dengan mentransfer pengetahuan tersebut langsung pada petani. Hal ini dapat meningkatkan kapasitas masyarakat terkait climate smart agriculture melalui program seperti sekolah lapang Iklim, program kampung iklim, serta pendampingan penggunaan alat mesin pertanian.

Kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) merupakan perwujudan komitmen pemerintah Indonesia dalam menangani berbagai tantangan isu perubahan iklim. Peningkatan ketahanan iklim ini difokuskan pada 4 (empat) sektor terdampak perubahan iklim, salah satunya adalah sektor pertanian. Saat ini sektor pertanian berfokus pada tanaman padi sebagai indikator dalam penilaian bahaya iklim. Adanya potensi penurunan produksi padi akibat perubahan iklim tentu berdampak pada kerugian ekonomi nasional. Proyeksi kerugian ekonomi nasional pada sektor pertanian diperkirakan mencapai 77,9 Triliun Rupiah pada tahun 2020-2045. Kerugian ini tentu akan semakin tinggi apabila komoditas kopi juga diikutsertakan dalam analisis bahaya iklim mengingat pengaruhnya yang cukup signifikan terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu, kedepannya pengembangan kajian ketahanan iklim akan diperkuat dengan penambahan komoditas lain yang juga berdampak signifikan terhadap perubahan iklim. Hal ini tentu akan memberikan dampak pada peningkatan ketahanan iklim di Indonesia.

Sumber : lcdi-indonesia

Perhatian!!!
Managemen PT. Rifan Financindo Berjangka (PT RFB) menghimbau kepada seluruh masyarakat untuk lebih berhati-hati terhadap beberapa bentuk penipuan yang berkedok investasi mengatasnamakan PT RFB dengan menggunakan media elektronik ataupun sosial media. Untuk itu harus dipastikan bahwa transfer dana ke rekening tujuan (Segregated Account) guna melaksanakan transaksi Perdagangan Berjangka adalah atas nama PT Rifan Financindo Berjangka, bukan atas nama individu.